Translate

July 25, 2007

Burung yang tak pandai bernyanyi


Satu keluarga burung gereja membuat sarang diatas loteng rumahku. Awalnya setiap pagi .. setiap petang .. disela sela mencari makan, pasangan burung gereja itu membawa selembar dua lembar daun atau ilalang pulang. Jika bukan karena hujan yang deras mungkin mereka akan tetap begitu terus selama beberapa waktu.

Pagi hari mereka berkicau dengan riuh ketika mentari pagi menyentuh atap dengan sinarnya yang lembut dan senja hari gurauan mereka berdua masih tersisa diantara keletihan sehari tadi. Dan malam hari mereka berdua - aku yakin - akan tidur bersama hangatnya cinta dan kenyamanan dalam kasih dan sayang.

Beberapa hari belakangan, seekaor burung saja yang aku lihat mondar mandir keluar dari sarang, tapi bergantian. Begitu sering dan beberapa hari kemudian juga aku mulai mendengar sesuatu yang baru dari atas sana. Suara suara kecil yang terdengar ragu ragu. Anak anak mereka kah?

Memang .. aku tak salah. Sekarang keluarga burung gereja punya tiga anak. Aku pernah mengintip sebentar untuk memastikan sangkaanku. Entah berapa ekor yang jantan dan entah berapa ekor pula yang betina.

Hari demi hari, anak anak burung tumbuh begitu cepat hingga akhirnya mulai belajar terbang dan astaga .. mereka juga mulai belajar bernyanyi dengan kicauannya.

Seekor anak burung tak pandai bernyanyi. Suaranya terdengar sumbang ketika dia mulai berkicau dan ketika sayapnya yang lemah mulai dia kepakkan ketika belajar untuk bisa terbang .. dia tidak kuat dan terjatuh ke tanah.

Saudara saudara nya berkicau riuh seolah menertawakannya. Mereka seakan tampak begitu bangga pada sayap mereka yang kuat dan suara mereka yang nyaring dan merdu. Tapi si burung kecil yang lemah tak bisa berbuat apa-apa.

Waktu terus berganti. Si burung kecil yang lemah tadi beranjak remaja. Saudara saudara nya yang tidak lagi tinggal di sarang mereka dulu - diatas loteng rumahku- kadang kadang datang mengunjunginya dan bapak serta ibu burung, tapi sering hanya untuk menertawakan nasib si burung yang lemah denga sesekali mematuk kepalanya.

Menjelang musim hujan, bapak burung mati karena tua nya dan tidak lama ibu burung pun menyusul karena tulang tulang nya sudah rapuh untuk menahan dinginnya cuaca. Tinggallah si burung yang lemah seorang diri. Tak lagi terdengar kucau sumbangnya di atas atap rumahku. Sampai akhirnya aku tahu bahwa tidak ada lagi satu ekor burung pun yang tinggal disana lagi.

Entah kemana burung kecil yang lemah dulu itu pergi. Entah mati karena dinginnya hari atau terjatuh ketika dia mencoba terbang dan kemudian tergilas mobil dan mati. Entah lah .. namun sejak saat itu aku tidak lagi memngingat tentang kenangan keluarga burung gereja yang pernah tinggal bersarang di atas loteng rumahku.

Tapi .. aku masih ingat kenangan ketika aku mengajari si burung lemah terbang ketika dia masih kecil dulu. Waktu itu kakinya yang mungil aku ikat dengan benang agar ketika dia terbang dan jatuh tidak langsung ke tanah. Walaupun akhirnya usahaku ternyata tidak membuahkan hasil. Setiap aku melihat ke arah loteng rumahku, aku akan selalu mengingat tentang burung kecil yang tak bisa terbang dan bernyanyi itu.

Sampai suatu pagi .. aku mendengar ada suara suara di atas atap rumahku. Aku terbangun dan melihat apakah ada sesuatu di atas sana. Tiba tiba seekor burung berputar putar di atas kepalaku. Seekor burung gereja. Aku bisa melihat ada utasan benang yang melilit kakinya. Apakah dia burung kecil yang lemah dulu?

Burung itu terbang menuju atap rumahku. Kemudian keluar lagi dengan seekor burung lain. Mereka berkicau dengan senangnya. Ya .. aku masih bisa mendengar kicauan sumbang dari salah satu burung itu. Pasti .. Itu adalah burung lemah yang tak pandai bernyanyi dulu. Lalu burung yang satu nya??

Aku menemukan jawabannya beberapa hari kemudian. Berkicau dengan suara suara yang kecil terdengar mengisi hari hariku setiap pagi.

Burung yang lemah dulu ternyata bisa terbang walau tak tinggi dan sekarang dia mempunyai keluarganya sendiri. Ketika aku sedang berpikir sambil menatap ke arah atap rumahku "mengapa dia masih ingat tempat sarang yang mereka tempati dulu?" tiba tiba seekor anak burung jatuh tepat di hadapanku. Jatuh ke tanah. Sayapnya yang kecil berusaha dia kepak kepakkan. Aku raih dan aku perhatikan baik baik. Paruh kecilnya berusaha mengeluarkan suara. Sebuah kicauan yang walaupun pelan masih bisa kudengar kalau itu sebuah kicauan sumbang.

Sambil tersenyum, aku kembalikan dia ke atas, ke sarangnya yang nyaman. Mungkin dia lebih baik tetap disitu dulu sampai sayapnya benar benar kuat untuk terbang dan mengisi tempatnya di atas bumi.

**********
Padang, 22 Oktober 2003

**********
Aku nemuin sebuah cerpen iseng iseng di antara halaman diary-ku dulu. Entah kenapa pula aku ingin menuliskannya disini. Hm.. sebenarnya, aku menemukan ide cerita ini dari seseorang. Dia .. diantara dua saudara nya.. mungkin yang kurang dianggap. Suara nya kurang di dengar. Tapi aku percaya .. dia akan bisa menjadi yang terbaik. Dan burung gereja itu memang ada di atas atap rumahku. Bukan satu keluarga .. mungkin ada sepuluh keluarga burung. Maklum lah .. rumah tua dengan atap yang tinggi. Tentu saja mereka berkembang biak dengan nyaman disana karena kami tak pernah sekali pun mengusiknya.

Satu hal lagi .. mendengar mereka berkicau setiap pagi membuatku lebih bersemangat memulai hari. Sekarang .. aku tak perhatikan apa mereka masih ada. Karena aku sudah jarang nginap di rumah mama. Mungkin nanti .. aku percaya saja .. mereka akan selalu ada disana .. lemah .. bersuara sumbang .. bukan berarti tak bisa apa-apa kan??

2 comments:

Vie said...

Cerita burungnya bagus, Lan. Begitulah hidup ini, dah jauh2 terbang, satu hari nanti pasti balik tuk ngeliat tempat dimana dia ditetaskan. Begitu juga manusia, tidak akan pernah lupa dimana dia dilahirhan.

Lain kali jangan suka ngintip ya. Ntar bintilan matanya.
Kayaknya begadang ya tadi malam?

Anonymous said...

Dulu keluarga kami melihara burung balam jambi dan murai, sampai 20 ekor balam dan 4 murai. Kini dah habis, mati tua...